ShoutMix chat widget

Jumat, 10 Juni 2011

TIBA DI MIQAT DI LUAR BULAN-BULAN HAJI

        Ketahuilah bahwa orang yang sampai ke miqat itu punya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, sampai ke miqat di luar bulan-bulan haji, seperti Sya'ban dan Ramadhan. Yang  sunnah bagi orang dalam kelompok kemungkinan ini adalah berihram umrah. Ia niatkan dalam hatinya berihram untuk umrah seraya melafazhkan dengan lisan:
لبيك عمرة
 Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah

atau mengucapkan:
لبيك اللهم عمرة
Ya Allah, kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah

Kemudian melanjutkan dengan menyuarakan talbiyah seperti talbiyah Nabi s.a.w., yaitu:
لبيك اللهم لبيك
لبيك لاشريك لك لبيك
إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك
 Kusambut panggilan-Mu, Ya Allah
 Kusambut panggilan-Mu,

Kusambut Panggilan-Mu,
Tiada sekutu bagi-Mu,
Kusambut panggilan-Mu.

Sesungguhnya segala puji,
karunia dan kekuasaan
hanyalah milik-Mu
Tiada sekutu bagi-Mu

Hendaknya ia memperbanyak membaca talbiyah ini dan berdzikir  kepada Allah-subhanahu- hingga ia sampai ke Ka'bah, hendaknya berhenti dari talbiyahnya. Berikutnya thawaf mengelilimgi Ka'bah, di lanjutkan dengan shalat dua raka'at di belakang maqam Ibrahim. Kemudian keluar menuju Shafa untuk melakukan Sa'i antara Shafa dan Marwah tujuh kali. Kemudian mencukur bersih atau memendekkan rambutnya. Dengan demikian selesailah umrahnya dan halal  baginya apa yang  haram semasa ihram.
       Kemungkinan kedua, ia sampai ke miqat di bulan-bulan  haji, yaitu Syawal, Dzul Qa'dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah. Orang yang demikian ini dibolehkan memilih salah satu dari tiga hal yaitu:
   a.berniat haji
   b.berniat umrah
   c.memasukkan niat umrah dalam haji

   Hal ini karena ketika sampai ke miqat pada bulan Dzul Qa'dah, dalam Haji Wada', Nabi s.a.w. memberikan kepada para sahabat kebebasan memilih salah  satu dari ketiga  jenis  amalan itu.

       Hanya saja yang  sunnah bagi orang dalam kemungkinan ini juga, jika tidak membawa hadyu (binatang sembelihan), hendaknya berniat ihram umrah dan melakukan amalan-amalan sebagaimana yang telah kami sebutkan untuk orang yang sampai ke miqat di luar bulan-bulan haji. Karena Nabi s.a.w. memerintahkan para sahabat saat mendekati kota Mekah agar  merubah niat ihram mereka menjadi niat ihram umrah. Dan beliau menekankan hal itu kepada mereka di Mekah. Karenanya, mereka melakukan thawaf, Sa'i dan mereka mencukur pendek rambut mereka dan bertahallul, untuk mentaati perintah beliau.

       Lain halnya orang yang membawa  hadyu (binatang sembelihan), Nabi s.a.w.  memerintahkan kepadanya untuk tetap mengenakan ihram hingga saat tahallul pada hari Nahar.

       Yang sunnah bagi orang yang membawa hadyu (binatang sembelihan) adalah  berihram haji dan umrah sekaligus. Karena Nabi s.a.w. melakukan hal itu. Dan, beliau pun menuntun hady (binatang sembelihan) dan memerintahkan kepada para sahabat yang menuntun hadyu, padahal mereka itu telah berihram umrah, agar  berniat  ihram haji beriringan niat umrah sekaligus dan agar tidak lepas dari ihramnya hingga tahallul dari keduanya pada hari Nahar.

       Jika orang yang  menuntun hadyu itu berihram haji saja (haji ifrad),  hendaknya ia tetap  pada ihramnya juga hingga ia tahallul pada hari Nahar sebagaimana orang yang  melakukan haji Qiran.

       Dengan demikian dapat diketahui, bahwa orang yang berihram haji saja atau berihram haji dan umrah sekaligus sedang ia tidak membawa hadyu, maka seyogianya  ia tetap pada niat ihramnya itu. Akan tetapi yang sunnah baginya  ialah merubah niat ihram tersebut menjadi niat ihram umrah. Selanjutnya ia melakukan thawaf, Sa'i dan mencukur pendek rambutnya serta bertahallul dari ihram umrahnya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang yang tidak membawa hadyu di antara para sahabat. Kecuali jika ia khawatir tertinggal amalan haji oleh sebab ia terlambat datang di Mekah Maka ia tetap pada niat ihram haji ifrad atau haji qirannya itu. Wallahu A'lam..

       Orang yang  berihram, jika ia khawatir tidak dapat melaksanakan sampai akhir apa yang telah di niatkannya dalam ihramnya, karena sakit atau takut musuh dan semacamny, disunnahkan baginya, saat mulai berihram, mengucapkan:
فإن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني
Jika aku terhalang oleh penghalang apapun,maka waktu dan tempat lepasku dari ihram adalah di mana Engkau tahan aku.

Hal ini berdasarkan hadits Dhaba'ah binti az-Zubair:
حد يث ضباعة بنت الزبير أنها قالت : يارسول الله  إني  أريد الحج وأنا شاكية : فقال لها رسول الله صلى الله  عليه وسلم: حجي  واشتر طي إن محلي حيث حبستني (متفق عليه)ا
Dari Dhaba'ah binti az-Zubair, bahwasanya ia berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak melakukan ibadah haji, sedang aku merasakan adanya penyakit yang kini kuderita".
Maka Nabi bersabda  kepadanya: "Lakukan haji, dan menyatakan suatu syarat pengikat: INNA MAHILLI HAITSU HABASTANI (sesungguhnya waktu dan tempat lepasku dari ihram adalah kapan dan dimana Engkau takdirkan adanya suatu penghalang yang menahanku)". (Muttafaq Alaih)

       Faedah pernyataan syarat pengikat ini adalah bahwa orang yang  berihram, jika tiba-tiba terjadi  sesuatu yang menghalanginya sehingga tidak dapat merampungkan amalannya, baik itu amalan tamattu', qiran atau ifrad, baik  halangannya itu berupa penyakit ataupun hadangan musuh, maka boleh baginya lepas dari ihramnya (tahallul) ketika  itu, dan tidak ada resiko apapun baginya.
Read more >>

Minggu, 22 Mei 2011

MIQAT MAKANI DAN KETENTUANNYA

Miqat makani ada lima:
  1. Dzul  Hulaifah, miqat  ini sekarang di sebut orang dengan nama: Abyar  'Ali (bi'ir Ali), yaitu untuk  penduduk Madinah.
  2. Al-Juhfah, yaitu miqat  penduduk Syam (Syria dan sekitarnya). Al-Juhfah ini terletak di padang yang tak berpenghuni, di dekat  Rabigh. Berihram  dari Rabigh dapat di hukumi berihram dari miqat, karena  letak Rabigh  berada sebelum al-juhfah (bagi pendatang dari arah Syam).
  3. Qarnul Manazil,  yaitu miqat penduduk Nejed,daerah ini kini disebut nama as-Sail.
  4. Yalamlam, yaitu  miqat bagi penduduk Yaman.
  5. Dzatu 'Irq, yaitu miqat bagi penduduk Iraq.
          Kelima miqat ini telah ditentukan oleh Rasulullah s.a.w. bagi penduduk masing-masing daerah itu, juga bagi orang-orang yang hendak haji atau umrah yang melintasi miqat-miqat tersebut.

          Orang yang melintasi  miqat dengan tujuan  Mekah untuk haji atau umrah  wajib berihram dari miqat tersebut, dan haram baginya melampauinya tanpa berihram, baik ia melintasinya melalui darat ataupun udara. Hal ini berdasarkan keumuman  hadits Nabi s.a.w.  tatkala  menentukan miqat-miqat itu:
 هن لهن
ولمن أتى عليهن من  غير  أهلهن ممن أر اد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk-penduduk wilayah itu, jaga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji atau umrah yang melintasi  miqat-miqat itu.

         Disyariatkan bagi orang yang menuju Mekah melalui udara dengan tujuan haji atau umrah agar bersiap-siap mandi dan lain-lainnya sebelum ia  naik ke pesawat. Jika telah  mendekati  miqat, hendaknya ia mengenakan kain ihramnya, bawah dan atas  (izar dan rida'). Lalu  berniat umrah  sambil bertalbiyah, jika waktunya masih cukup untuk melakukan  umrah.Namun,jika waktunya sempit (tidak cukup untuk melakukan umrah), hendaknya berniat haji sambil bertalbiyah. Dalam hal ini tidak masalah jika ia mengenakan kain ihramnya. bawah dan atas , pada saat sebelum naik pesawat atau sebelum mendekati batas miqat. Hanya  saja  jangan memulai  berniat dan bertalbiyah, baik untuk haji maupun umrahnya, kecuali saat berada  sejajar atau mendekati miqat. Hal itu dikarenakan Nabi s.a.w. tidak berihram kecuali dari miqat. Dan wajib bagi umat beliau untuk mencontoh beliau dalam hal ini, dan juga dalam amalan-amalan ibadah lainnya. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala:
لقد كان لكم  في رسول الله أسوة حسنة
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah contoh teladan yang baik untuk kamu. (Al-Ahzab,21)

dan berdasarkan sabda beliau s.a.w. dalam Haji Wada' :
خدوا عني مناسككم
Ambillah dariku manasik (tata cara ibadah Haji dan Umrah) kamu.

       Adapun orang yang bertujuan ke Mekah tidak untuk Haji maupun Umrah, seperti halnya seorang  yang berniaga, pencari kayu bakar, pengantar surat atau expedisi dan semacamnya, maka ia  tidak wajib berihram kecuali jika ia berniat.

       Ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w. dalam hadits yang telah tertera di atas saat beliau menyebutkan ketentuan miqat :
هن لهن ولمن  أتى عليهن من غير أهلهن ممن أراد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk wilayah itu,juga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji dan umrah yang melintasi miqat-miqat itu.

       Lawan pengertian  dari hadits ini adalah bahwa orang yang melintasi miqat-miqat tersebut, tetapi tidak bertujuan haji maupun umrah, tidak di tuntut untuk berihram. Ini adalah sebagian dari rahmah dan kemudahan dari Allah untuk para hamba-Nya. Hanya bagi Allah puji dan syukur atas itu semua.

       Ini juga  dikukuhkan oleh apa yang dilakukan Nabi s.a.w. tatkala datang ke Mekah di saat Fathu Mekah (Pembebasan Mekah). Beliau  saat itu tidak berihram. Bahkan beliau memasuki kota Mekah dengan mengenakan sorban yang dililitkan pada topi baja di kepala beliau. Karena beliau  saat itu tidak bertujuan haji atau umrah, akan tetapi bertujuan menaklukkan kota Mekah dan menghilangkan kemusyrikan dari kota suci itu.

      Adapun orang yang  tempat tinggalnya belum sampai miqat (di ukur dari Mekah), sebagaimana penduduk jeddah, Ummus Salam, Bahrah, Syara'i, Badar, Masturah dan daerah-daerah seperti itu, tidak perlu seseorang harus pergi menuju salah satu dari kelima miqat tersebut.Akan tetapi  tempat tinggalnya itulah miqatnya. Ia cukup berihram untuk haji atau umrah dari tempat tinggalnya itu.

      Jika ia mempunyai tempat tinggal lain di luar miqat, maka ia boleh memilih hendak berihram dari miqat atau hendak berihram dari tempat tinggalnya yang lebih dekat ke Mekah dibanding miqat. Ini  berdasarkan pengertian umum  dan sabda Nabi dalam hadits Ibnu 'Abbas tatkala beliau menjelasakan ketentuan miqat, beliau bersabda:
ومن كان دون ذلك فمهله من أهله
حتى أهل مكة  يهلون من مكة (أخرجه البخاري ومسلم)ا
Dan, orang yang  bertempat tinggal di kawasan sebelum miqat (di ukur dari Mekah), tempat  ihramnya adalah  dari keluarganya (rumahnya ).
Hingga Penduduk Mekah pun berihram dari Mekah. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

      Lain halnya bagi orang yang hendak umrah tetapi berada di tanah haram, maka  ia wajib keluar terlebih dahulu ke tanah halal (di luar kawasan tanah haram). Dari sanalah ia  berihram untuk umrahnya Hal itu karena Nabi s.a.w., saat di mintai izin Aisyah untuk melakukan umrah, beliau menyuruh Abdur Rahman bin Abu Bakar, saudara lelaki Aisyah, untuk mengantarnya keluar ke tanah halal dari sanalah Aisyah  berihram untuk  umrahnya. Ini menunjukkan bahwa orang yang hendak  umrah tidak dibenarkan berihram umrah dari tanah haram. Akan tetapi ia harus berihram umrah dari tanah halal.

     Dengan demikian  hadits ini  mentakhshish (mengkhususkan)  pengertian umum  hadits Ibnu  'Abbas  di atas  dan menunjukkan bahwa yang  di maksudkan Nabi s.a.w. dengan sabda beliau:
حتي أهل مكة يهلون من مكة
".....Hingga penduduk Mekah  pun berihram  dari Mekah "
adalah berihram untuk haji,  bukan berihram untuk haji,  bukan berihram untuk umrah.
Karena, seandainya berihram umrah  dibolehkan dari tanah haram, tentu Nabi s.a.w.  mengizinkan Aisyah berihram umrah dari situ tidak  perlu menyuruhnya berpayah-payah keluar ke tanah halal. Ini adalah jelas. Dan ini adalah pendapat  jumhur (mayoritas) ulama'-rahmatullahi'alaihin, dan pendapat  inilah yang  lebih aman  untuk di pegang  oleh seorang mu'min, karena di situ terdapat pengalaman  dua hadits sekaligus. Wallahu-l-Muwaffiq.

     Adapun memperbanyak umrah, setelah haji, dari  Tan'im, Ji'ranah atau tempat lainnya, sebagaimna  yang dilakukan oleh sebagian orang padahal sudah melakukan umrah sebelum haji, tidak mempunyai satu dalil pun yang  menunjukkan  disyari'atkannya amalan ini. Bahkan nash-nash dalil yang ada menunjukkan bahwa yang  utama adalah meninggalkannya. Karena Nabi s.a.w.  dan para sahabat  beliau radhiyallahu'anhum- tidak pernah melakukan umrah seusai haji mereka. Sedangkan Aisyah melakukan umrahnya dari Tan'im adalah karena dia belum umrah bersama-sama orang lain saat memasuki Mekah oleh sebab datangnya haidh. Karenanya ia meminta izin  kepada Nabi  untuk melakukan umrah,sebagai ganti umrahnya yang telah diniatkan sejak dari miqat, dan Nabi s.a.w. mengizinkannya. Dengan  demikian ia  melakukan umrah dua kali,yaitu umrah yang ia lakukan bersamaan dengan amalan hajinya dan umrah secara tersendiri. Maka, orang yang  memiliki kasus seperti kasus Aisyah ini tidak mengapa ia  melakukan umrah sesuai hajinya, sebagai pengamalan dalil-dalil yang ada  dan memberi keleluasan bagi umat Islam.

     Tidak diragukan, bahwa  sibuknya jemaah haji melakukan umrah lagi, selain umrah yang telah mereka lakukan saat mereka memasuki kota Mekah, adalah  memberatkan orang banyak dan menyebabkan berdesak-desaknya orang, serta  sering menyebabkan terjadinya kecelakaan, di samping  amalan itu menyalahi tuntunan dan sunnah Nabi s.a.w..


Wallahu-l-Muwaffiq.


Read more >>

Senin, 09 Mei 2011

NIAT IHRAM

    Sesuai mandi dan membersihkan badan serta mengenakan pakaian ihram, hendaknya ia berniat di dalam hatinya memasuki jenis ibadah yang dikehendaki, baik haji ataupun umrah, Hal ini berdasarkan  sabda Nabi s.a.w.:
 إنما الأ عمال بالنيات وأنم لكل امرئ ما نوى
Sesungguhnya perbuatan itu terkait dengan niatnya. Dan, setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.

    Disyari'atkan baginya untuk melafazhkan niatnya (menyatakan dengan lisan). Jika adalah umrah, hendaknya ia mengucapkan:
لبيك عمرة
Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah

atau:
اللهم لبيك عمرة
Ya allah, kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah

    Jika niatnya adalah haji, hendaknya ia mengucapkan:
لبيك حجا
Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan Haji

atau :
اللهم لبيك حجا
Ya Allah, kusambut panggilan-Mu untuk melakukan haji.

    Hal ini berdasarkan apa yang di lakukan oleh Nabi s.a.w.

    Utamanya niat itu dilafazhkan setelah ia berada di atas kendaraan yang ditumpanginya, baik itu onta maupun kuda, atau kendaraan bermotor atau lainnya.
Karena Nabi s.a.w. baru menyatakan niatnya setelah beliau berada di atas hewan tunggangan beliau, di saat hewan tunggangan beliau itu  menghentakkan kakinya beranjak dari miqat  untuk membawa beliau.
Ini adalah pendapat yang terbenar dari sekian  pendapat para ulama.

    Melafazhkan niat tidaklah disyari'atkan kecuali  dalam ihram saja, karena terdapat tuntunannya dari Nabi s.a.w. Adapun di dalam shalat, tawaf dan ibadah lain, seyogianya niat tidak di lafazhkan . Tidak perlu mengucap: "Nawaitu an Ushallia.."(aku berniat shalat....). juga tidak perlu mengucap :"Nawaitu an Athufa..." (aku berniat melakukan thawaf ini,itu). Bahkan, justru melafazhkan niat semacam itu adalah  bid'ah yang diada-adakan. Lebih buruk lagi dan amat berdosa, sekiranya niat itu dilafazhkan keras. Seandainya  melafazhkan niat itu disyari'atkan, tentunya  Rasulullah s.a.w. menjelaskan hal itu kepada umatnya dengan perbuatan maupun perkataan beliau, dan tentunya para ulama salaf lebih dulu mengamalkannya.

   Dengan tidak terbuktinya hal itu dinukil dari Nabi s.a.w. maupun dari sahabat beliau, berarti dapat di ketahui bahwa itu adalah bid'ah.Padahal Nabi s.a.w. telah bersabda:
وشر الأمور محدثاتها وكل بد عة ضلالة
(أحرجه مسلم في صحيحه)
Seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan. Dan setiap bid'ah itu adalah sesat. (Hadits ini diriwayatkan muslim dalam Kitab "Shahih"-Nya).

Read more >>

Sabtu, 07 Mei 2011

AMALAN HAJI KETIKA TIBA DI MIQAT

      Jika sampai di miqat, disunnahkan mandi dan menggunakan wangi-wangian (di badannya). Ini berdasarkan hadits di mana Nabi melepas pakaian berjahit beliau di saat hendak berihram, dan beliau mandi. Juga berdasarkan hadits dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim:

عن عائشة رضي الله عنها قالت:
كنت أطيب رسول الله صلى الله عليه وسلم ،لإحر امه قبل أن يحرم،
ولحله قبل أن يطوف بالبيت،
Dari A'isyah radhiyallahu'anhu, ia berkata :
"Aku memberikan kepada Rasulullah s.a.w.
Wangi-wangian untuk ihram beliau sebelum beliau mulai berihram, dan untuk Tahallul beliau sebelum beliau melakukan Thawaf (Ifadhah) di Baitullah".

     Dasar lain, bahwa Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada Aisyah, saat datang bulan (haidh), padahal ia sebelumnya telah berniat ihram untuk umrah, agar ia mandi  (untuk ihram) dan berniat haji.
     Demikian halnya Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada Asma' binti 'Umais, saat melahirkan anaknya di Dzul Hulaifah, agar ia mandi dan menggunakan pembalut pengaman dan berihram.
     Hal ini menunjukkan bahwa wanita,jika jika sampai ke miqat sedang haidh atau nifas, tetap mandi dan berihram seperti orang-orang lain, dan melakukan  semua amalan yang dilakukan orang yang  melakukan haji, selain thawaf sebagaimana yang deperintahkan oleh Nabi s.a.w. kepada Aisyah dan Asma'.
     Disunnahkan bagi orang-orang yang hendak berihram agar menipiskan kumisnya, memotong kukunya dan mencukur bulu kemaluannya serta mencabut rambut ketiaknya, agar nantinya setelah berihram ia tidak melakukan itu,karena hal itu adalah haram saat masa ihram. Lebih lanjut, memang Nabi s.a.w. mensyari'atkan untuk umat islam agar memperhatikan hal-hal di atas  setiap waktu, sebagaimana tertera pada Shahih Al-Bukhari dan Muslim:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الفطرة خمس الختان والاستحداد وقص الشارب وقلم الأظفار ونتف الاباط
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: Sunnah-sunnah fitrah (tradisi-tradisi kesucian) manusia itu ada lima:
  1. Khitan.
  2. Mencukur bulu kemaluan.
  3. Menipiskan kumis.
  4. Memotong kuku.
  5. Mencabut bulu ketiak.
Tertera juga di Shahih Muslim:
عن أنس رضي الله عنه قال: وقت لنا في قص الشارب وقلم
الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة
أن لا نترك ذلك أكثر من أربعين ليلة
Dari Anas radhiyallahu'anhu, ia berkata: Ditentukan jangka  waktu untuk kita dalam menipiskan kumis,memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, agar kiranya kita tidak membiarkannya lebih dari empatpuluh malam (hari).

     Hadits ini diriwayatkan juga oleh An-Nasa'i dengan lafazh:
وقت لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
 "Rasulullah s.a.w. menentukan jangka waktu untuk kita..."(Hadits inipun diriwayatkan oleh Imam Ahmad,Abu Daud dan At-Tirmidzi dengan lafazh seperti lafazh An-Nasa'i).

    Lain halnya dengan rambut kepala,ia tidaklah disyari'atkan  untuk di potong  sedikitpun saat berihram, baik untuk pria maupun wanita.

    Adapun jenggot adalah haram dicukur,baik seluruhnya atau sebagiannya di waktu kapanpun, Bahkan wajib di biarkan lebat.

    Ini berdasarkan hadits di Shahih Al-Bukhari dan Muslim:
عن  ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
Dari Ibnu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata:  Rasulullah s.a.w. bersabda:  Bersikaplah beda terhadap orang-orang musyrik. Biarkanlah lebat jenggotmu dan tipiskanlah kumismu.

   Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Shahih-Nya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: جزوا اللشوارب وارخوا اللحى، خالفوا المجوس
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: Pangkaslah kumis dengan tipis dan biarkanlah jenggot memanjang. Bersikaplah beda terhadap orang-orang Majusi.

   Betapa besarnya bencana di zaman ini, dengan banyaknya orang yang menentang sunnah Rasul ini, mereka memusuhi dan memerangi jenggot, bersikaplah dan menyerupai orang-orang kafir dan kaum wanita.
Padahal tidak sedikit di antara mereka adalah orang-orang yang mengelompokkan dirinya sebagai  orang-orang yang berilmu dan terjun sebagai pengajar. Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un. Kita panjatkan do'a kepada Allah, kiranya Dia memimbing kita dan segenap umat Islam  untuk menepati, berpegang teguh dan mengajak kepada sunnah Nabi, meskipun mayoritas  orang tidak suka kepadanya. Cukup Allah (Pelindung) kita dan Dialah sebaik-baik Dzat yang  kepadanya kita titipkan diri kita. Tiada daya (untuk menghindari maksiat) dan tiada  kekuatan (untuk melakukan ketaatan) kecuali atas ma'unah dan taufiq Allah Yang Maha Luhur Lagi Maha Agung.

   Selanjutnya, orang lelaki hendaknya menggunakan kain ihram bawah (izar) dan kain ihram atas (rida'), dan disunnahkan kain ihram itu berwarna putih, Juga di sunnahkan berihram dengan mengenakan sandal. Hal  ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w.:
 وليحرم أحدكم في إزار ورداء ونعلين (أخرجه الإمام أحمد رحمه الله)ا
Hendaknya seseorang di antara kamu berihram dengan menggunakan kain bawah (izar) dan kain atas (rida') serta sandal. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmat,semoga Allah merahmatinya).

   Adapun bagi wanita dibolehkan berihram dengan mengenakan busana muslimah yang ia sukai, baik hitam ataupun hijau atau warna lain dengan tetap mewaspadai agar tidak menyerupai busana lelaki.
Adapun kecenderungan wanita awam memilih warna khusus ,hijau atau hitam, untuk ihramnya, dan tidak mau warna lain, adalah tidak ada dasarnya.
  
Read more >>
Selamat Datang Di Blok-ku