ShoutMix chat widget

Minggu, 22 Mei 2011

Home » » MIQAT MAKANI DAN KETENTUANNYA

MIQAT MAKANI DAN KETENTUANNYA

Miqat makani ada lima:
  1. Dzul  Hulaifah, miqat  ini sekarang di sebut orang dengan nama: Abyar  'Ali (bi'ir Ali), yaitu untuk  penduduk Madinah.
  2. Al-Juhfah, yaitu miqat  penduduk Syam (Syria dan sekitarnya). Al-Juhfah ini terletak di padang yang tak berpenghuni, di dekat  Rabigh. Berihram  dari Rabigh dapat di hukumi berihram dari miqat, karena  letak Rabigh  berada sebelum al-juhfah (bagi pendatang dari arah Syam).
  3. Qarnul Manazil,  yaitu miqat penduduk Nejed,daerah ini kini disebut nama as-Sail.
  4. Yalamlam, yaitu  miqat bagi penduduk Yaman.
  5. Dzatu 'Irq, yaitu miqat bagi penduduk Iraq.
          Kelima miqat ini telah ditentukan oleh Rasulullah s.a.w. bagi penduduk masing-masing daerah itu, juga bagi orang-orang yang hendak haji atau umrah yang melintasi miqat-miqat tersebut.

          Orang yang melintasi  miqat dengan tujuan  Mekah untuk haji atau umrah  wajib berihram dari miqat tersebut, dan haram baginya melampauinya tanpa berihram, baik ia melintasinya melalui darat ataupun udara. Hal ini berdasarkan keumuman  hadits Nabi s.a.w.  tatkala  menentukan miqat-miqat itu:
 هن لهن
ولمن أتى عليهن من  غير  أهلهن ممن أر اد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk-penduduk wilayah itu, jaga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji atau umrah yang melintasi  miqat-miqat itu.

         Disyariatkan bagi orang yang menuju Mekah melalui udara dengan tujuan haji atau umrah agar bersiap-siap mandi dan lain-lainnya sebelum ia  naik ke pesawat. Jika telah  mendekati  miqat, hendaknya ia mengenakan kain ihramnya, bawah dan atas  (izar dan rida'). Lalu  berniat umrah  sambil bertalbiyah, jika waktunya masih cukup untuk melakukan  umrah.Namun,jika waktunya sempit (tidak cukup untuk melakukan umrah), hendaknya berniat haji sambil bertalbiyah. Dalam hal ini tidak masalah jika ia mengenakan kain ihramnya. bawah dan atas , pada saat sebelum naik pesawat atau sebelum mendekati batas miqat. Hanya  saja  jangan memulai  berniat dan bertalbiyah, baik untuk haji maupun umrahnya, kecuali saat berada  sejajar atau mendekati miqat. Hal itu dikarenakan Nabi s.a.w. tidak berihram kecuali dari miqat. Dan wajib bagi umat beliau untuk mencontoh beliau dalam hal ini, dan juga dalam amalan-amalan ibadah lainnya. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala:
لقد كان لكم  في رسول الله أسوة حسنة
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah contoh teladan yang baik untuk kamu. (Al-Ahzab,21)

dan berdasarkan sabda beliau s.a.w. dalam Haji Wada' :
خدوا عني مناسككم
Ambillah dariku manasik (tata cara ibadah Haji dan Umrah) kamu.

       Adapun orang yang bertujuan ke Mekah tidak untuk Haji maupun Umrah, seperti halnya seorang  yang berniaga, pencari kayu bakar, pengantar surat atau expedisi dan semacamnya, maka ia  tidak wajib berihram kecuali jika ia berniat.

       Ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w. dalam hadits yang telah tertera di atas saat beliau menyebutkan ketentuan miqat :
هن لهن ولمن  أتى عليهن من غير أهلهن ممن أراد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk wilayah itu,juga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji dan umrah yang melintasi miqat-miqat itu.

       Lawan pengertian  dari hadits ini adalah bahwa orang yang melintasi miqat-miqat tersebut, tetapi tidak bertujuan haji maupun umrah, tidak di tuntut untuk berihram. Ini adalah sebagian dari rahmah dan kemudahan dari Allah untuk para hamba-Nya. Hanya bagi Allah puji dan syukur atas itu semua.

       Ini juga  dikukuhkan oleh apa yang dilakukan Nabi s.a.w. tatkala datang ke Mekah di saat Fathu Mekah (Pembebasan Mekah). Beliau  saat itu tidak berihram. Bahkan beliau memasuki kota Mekah dengan mengenakan sorban yang dililitkan pada topi baja di kepala beliau. Karena beliau  saat itu tidak bertujuan haji atau umrah, akan tetapi bertujuan menaklukkan kota Mekah dan menghilangkan kemusyrikan dari kota suci itu.

      Adapun orang yang  tempat tinggalnya belum sampai miqat (di ukur dari Mekah), sebagaimana penduduk jeddah, Ummus Salam, Bahrah, Syara'i, Badar, Masturah dan daerah-daerah seperti itu, tidak perlu seseorang harus pergi menuju salah satu dari kelima miqat tersebut.Akan tetapi  tempat tinggalnya itulah miqatnya. Ia cukup berihram untuk haji atau umrah dari tempat tinggalnya itu.

      Jika ia mempunyai tempat tinggal lain di luar miqat, maka ia boleh memilih hendak berihram dari miqat atau hendak berihram dari tempat tinggalnya yang lebih dekat ke Mekah dibanding miqat. Ini  berdasarkan pengertian umum  dan sabda Nabi dalam hadits Ibnu 'Abbas tatkala beliau menjelasakan ketentuan miqat, beliau bersabda:
ومن كان دون ذلك فمهله من أهله
حتى أهل مكة  يهلون من مكة (أخرجه البخاري ومسلم)ا
Dan, orang yang  bertempat tinggal di kawasan sebelum miqat (di ukur dari Mekah), tempat  ihramnya adalah  dari keluarganya (rumahnya ).
Hingga Penduduk Mekah pun berihram dari Mekah. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

      Lain halnya bagi orang yang hendak umrah tetapi berada di tanah haram, maka  ia wajib keluar terlebih dahulu ke tanah halal (di luar kawasan tanah haram). Dari sanalah ia  berihram untuk umrahnya Hal itu karena Nabi s.a.w., saat di mintai izin Aisyah untuk melakukan umrah, beliau menyuruh Abdur Rahman bin Abu Bakar, saudara lelaki Aisyah, untuk mengantarnya keluar ke tanah halal dari sanalah Aisyah  berihram untuk  umrahnya. Ini menunjukkan bahwa orang yang hendak  umrah tidak dibenarkan berihram umrah dari tanah haram. Akan tetapi ia harus berihram umrah dari tanah halal.

     Dengan demikian  hadits ini  mentakhshish (mengkhususkan)  pengertian umum  hadits Ibnu  'Abbas  di atas  dan menunjukkan bahwa yang  di maksudkan Nabi s.a.w. dengan sabda beliau:
حتي أهل مكة يهلون من مكة
".....Hingga penduduk Mekah  pun berihram  dari Mekah "
adalah berihram untuk haji,  bukan berihram untuk haji,  bukan berihram untuk umrah.
Karena, seandainya berihram umrah  dibolehkan dari tanah haram, tentu Nabi s.a.w.  mengizinkan Aisyah berihram umrah dari situ tidak  perlu menyuruhnya berpayah-payah keluar ke tanah halal. Ini adalah jelas. Dan ini adalah pendapat  jumhur (mayoritas) ulama'-rahmatullahi'alaihin, dan pendapat  inilah yang  lebih aman  untuk di pegang  oleh seorang mu'min, karena di situ terdapat pengalaman  dua hadits sekaligus. Wallahu-l-Muwaffiq.

     Adapun memperbanyak umrah, setelah haji, dari  Tan'im, Ji'ranah atau tempat lainnya, sebagaimna  yang dilakukan oleh sebagian orang padahal sudah melakukan umrah sebelum haji, tidak mempunyai satu dalil pun yang  menunjukkan  disyari'atkannya amalan ini. Bahkan nash-nash dalil yang ada menunjukkan bahwa yang  utama adalah meninggalkannya. Karena Nabi s.a.w.  dan para sahabat  beliau radhiyallahu'anhum- tidak pernah melakukan umrah seusai haji mereka. Sedangkan Aisyah melakukan umrahnya dari Tan'im adalah karena dia belum umrah bersama-sama orang lain saat memasuki Mekah oleh sebab datangnya haidh. Karenanya ia meminta izin  kepada Nabi  untuk melakukan umrah,sebagai ganti umrahnya yang telah diniatkan sejak dari miqat, dan Nabi s.a.w. mengizinkannya. Dengan  demikian ia  melakukan umrah dua kali,yaitu umrah yang ia lakukan bersamaan dengan amalan hajinya dan umrah secara tersendiri. Maka, orang yang  memiliki kasus seperti kasus Aisyah ini tidak mengapa ia  melakukan umrah sesuai hajinya, sebagai pengamalan dalil-dalil yang ada  dan memberi keleluasan bagi umat Islam.

     Tidak diragukan, bahwa  sibuknya jemaah haji melakukan umrah lagi, selain umrah yang telah mereka lakukan saat mereka memasuki kota Mekah, adalah  memberatkan orang banyak dan menyebabkan berdesak-desaknya orang, serta  sering menyebabkan terjadinya kecelakaan, di samping  amalan itu menyalahi tuntunan dan sunnah Nabi s.a.w..


Wallahu-l-Muwaffiq.


0 komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang Di Blok-ku