Miqat makani ada lima:
Orang yang melintasi miqat dengan tujuan Mekah untuk haji atau umrah wajib berihram dari miqat tersebut, dan haram baginya melampauinya tanpa berihram, baik ia melintasinya melalui darat ataupun udara. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi s.a.w. tatkala menentukan miqat-miqat itu:
هن لهن
ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن أر اد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk-penduduk wilayah itu, jaga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji atau umrah yang melintasi miqat-miqat itu.
Disyariatkan bagi orang yang menuju Mekah melalui udara dengan tujuan haji atau umrah agar bersiap-siap mandi dan lain-lainnya sebelum ia naik ke pesawat. Jika telah mendekati miqat, hendaknya ia mengenakan kain ihramnya, bawah dan atas (izar dan rida'). Lalu berniat umrah sambil bertalbiyah, jika waktunya masih cukup untuk melakukan umrah.Namun,jika waktunya sempit (tidak cukup untuk melakukan umrah), hendaknya berniat haji sambil bertalbiyah. Dalam hal ini tidak masalah jika ia mengenakan kain ihramnya. bawah dan atas , pada saat sebelum naik pesawat atau sebelum mendekati batas miqat. Hanya saja jangan memulai berniat dan bertalbiyah, baik untuk haji maupun umrahnya, kecuali saat berada sejajar atau mendekati miqat. Hal itu dikarenakan Nabi s.a.w. tidak berihram kecuali dari miqat. Dan wajib bagi umat beliau untuk mencontoh beliau dalam hal ini, dan juga dalam amalan-amalan ibadah lainnya. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah contoh teladan yang baik untuk kamu. (Al-Ahzab,21)
dan berdasarkan sabda beliau s.a.w. dalam Haji Wada' :
خدوا عني مناسككم
Ambillah dariku manasik (tata cara ibadah Haji dan Umrah) kamu.
Adapun orang yang bertujuan ke Mekah tidak untuk Haji maupun Umrah, seperti halnya seorang yang berniaga, pencari kayu bakar, pengantar surat atau expedisi dan semacamnya, maka ia tidak wajib berihram kecuali jika ia berniat.
Ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w. dalam hadits yang telah tertera di atas saat beliau menyebutkan ketentuan miqat :
هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن أراد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk wilayah itu,juga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji dan umrah yang melintasi miqat-miqat itu.
Lawan pengertian dari hadits ini adalah bahwa orang yang melintasi miqat-miqat tersebut, tetapi tidak bertujuan haji maupun umrah, tidak di tuntut untuk berihram. Ini adalah sebagian dari rahmah dan kemudahan dari Allah untuk para hamba-Nya. Hanya bagi Allah puji dan syukur atas itu semua.
Ini juga dikukuhkan oleh apa yang dilakukan Nabi s.a.w. tatkala datang ke Mekah di saat Fathu Mekah (Pembebasan Mekah). Beliau saat itu tidak berihram. Bahkan beliau memasuki kota Mekah dengan mengenakan sorban yang dililitkan pada topi baja di kepala beliau. Karena beliau saat itu tidak bertujuan haji atau umrah, akan tetapi bertujuan menaklukkan kota Mekah dan menghilangkan kemusyrikan dari kota suci itu.
Adapun orang yang tempat tinggalnya belum sampai miqat (di ukur dari Mekah), sebagaimana penduduk jeddah, Ummus Salam, Bahrah, Syara'i, Badar, Masturah dan daerah-daerah seperti itu, tidak perlu seseorang harus pergi menuju salah satu dari kelima miqat tersebut.Akan tetapi tempat tinggalnya itulah miqatnya. Ia cukup berihram untuk haji atau umrah dari tempat tinggalnya itu.
Jika ia mempunyai tempat tinggal lain di luar miqat, maka ia boleh memilih hendak berihram dari miqat atau hendak berihram dari tempat tinggalnya yang lebih dekat ke Mekah dibanding miqat. Ini berdasarkan pengertian umum dan sabda Nabi dalam hadits Ibnu 'Abbas tatkala beliau menjelasakan ketentuan miqat, beliau bersabda:
ومن كان دون ذلك فمهله من أهله
حتى أهل مكة يهلون من مكة (أخرجه البخاري ومسلم)ا
Dan, orang yang bertempat tinggal di kawasan sebelum miqat (di ukur dari Mekah), tempat ihramnya adalah dari keluarganya (rumahnya ).
Hingga Penduduk Mekah pun berihram dari Mekah. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Lain halnya bagi orang yang hendak umrah tetapi berada di tanah haram, maka ia wajib keluar terlebih dahulu ke tanah halal (di luar kawasan tanah haram). Dari sanalah ia berihram untuk umrahnya Hal itu karena Nabi s.a.w., saat di mintai izin Aisyah untuk melakukan umrah, beliau menyuruh Abdur Rahman bin Abu Bakar, saudara lelaki Aisyah, untuk mengantarnya keluar ke tanah halal dari sanalah Aisyah berihram untuk umrahnya. Ini menunjukkan bahwa orang yang hendak umrah tidak dibenarkan berihram umrah dari tanah haram. Akan tetapi ia harus berihram umrah dari tanah halal.
Dengan demikian hadits ini mentakhshish (mengkhususkan) pengertian umum hadits Ibnu 'Abbas di atas dan menunjukkan bahwa yang di maksudkan Nabi s.a.w. dengan sabda beliau:
حتي أهل مكة يهلون من مكة
".....Hingga penduduk Mekah pun berihram dari Mekah "
adalah berihram untuk haji, bukan berihram untuk haji, bukan berihram untuk umrah.
Karena, seandainya berihram umrah dibolehkan dari tanah haram, tentu Nabi s.a.w. mengizinkan Aisyah berihram umrah dari situ tidak perlu menyuruhnya berpayah-payah keluar ke tanah halal. Ini adalah jelas. Dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama'-rahmatullahi'alaihin, dan pendapat inilah yang lebih aman untuk di pegang oleh seorang mu'min, karena di situ terdapat pengalaman dua hadits sekaligus. Wallahu-l-Muwaffiq.
Adapun memperbanyak umrah, setelah haji, dari Tan'im, Ji'ranah atau tempat lainnya, sebagaimna yang dilakukan oleh sebagian orang padahal sudah melakukan umrah sebelum haji, tidak mempunyai satu dalil pun yang menunjukkan disyari'atkannya amalan ini. Bahkan nash-nash dalil yang ada menunjukkan bahwa yang utama adalah meninggalkannya. Karena Nabi s.a.w. dan para sahabat beliau radhiyallahu'anhum- tidak pernah melakukan umrah seusai haji mereka. Sedangkan Aisyah melakukan umrahnya dari Tan'im adalah karena dia belum umrah bersama-sama orang lain saat memasuki Mekah oleh sebab datangnya haidh. Karenanya ia meminta izin kepada Nabi untuk melakukan umrah,sebagai ganti umrahnya yang telah diniatkan sejak dari miqat, dan Nabi s.a.w. mengizinkannya. Dengan demikian ia melakukan umrah dua kali,yaitu umrah yang ia lakukan bersamaan dengan amalan hajinya dan umrah secara tersendiri. Maka, orang yang memiliki kasus seperti kasus Aisyah ini tidak mengapa ia melakukan umrah sesuai hajinya, sebagai pengamalan dalil-dalil yang ada dan memberi keleluasan bagi umat Islam.
Tidak diragukan, bahwa sibuknya jemaah haji melakukan umrah lagi, selain umrah yang telah mereka lakukan saat mereka memasuki kota Mekah, adalah memberatkan orang banyak dan menyebabkan berdesak-desaknya orang, serta sering menyebabkan terjadinya kecelakaan, di samping amalan itu menyalahi tuntunan dan sunnah Nabi s.a.w..
Wallahu-l-Muwaffiq.
Read more >>
- Dzul Hulaifah, miqat ini sekarang di sebut orang dengan nama: Abyar 'Ali (bi'ir Ali), yaitu untuk penduduk Madinah.
- Al-Juhfah, yaitu miqat penduduk Syam (Syria dan sekitarnya). Al-Juhfah ini terletak di padang yang tak berpenghuni, di dekat Rabigh. Berihram dari Rabigh dapat di hukumi berihram dari miqat, karena letak Rabigh berada sebelum al-juhfah (bagi pendatang dari arah Syam).
- Qarnul Manazil, yaitu miqat penduduk Nejed,daerah ini kini disebut nama as-Sail.
- Yalamlam, yaitu miqat bagi penduduk Yaman.
- Dzatu 'Irq, yaitu miqat bagi penduduk Iraq.
Orang yang melintasi miqat dengan tujuan Mekah untuk haji atau umrah wajib berihram dari miqat tersebut, dan haram baginya melampauinya tanpa berihram, baik ia melintasinya melalui darat ataupun udara. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi s.a.w. tatkala menentukan miqat-miqat itu:
هن لهن
ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن أر اد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk-penduduk wilayah itu, jaga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji atau umrah yang melintasi miqat-miqat itu.
Disyariatkan bagi orang yang menuju Mekah melalui udara dengan tujuan haji atau umrah agar bersiap-siap mandi dan lain-lainnya sebelum ia naik ke pesawat. Jika telah mendekati miqat, hendaknya ia mengenakan kain ihramnya, bawah dan atas (izar dan rida'). Lalu berniat umrah sambil bertalbiyah, jika waktunya masih cukup untuk melakukan umrah.Namun,jika waktunya sempit (tidak cukup untuk melakukan umrah), hendaknya berniat haji sambil bertalbiyah. Dalam hal ini tidak masalah jika ia mengenakan kain ihramnya. bawah dan atas , pada saat sebelum naik pesawat atau sebelum mendekati batas miqat. Hanya saja jangan memulai berniat dan bertalbiyah, baik untuk haji maupun umrahnya, kecuali saat berada sejajar atau mendekati miqat. Hal itu dikarenakan Nabi s.a.w. tidak berihram kecuali dari miqat. Dan wajib bagi umat beliau untuk mencontoh beliau dalam hal ini, dan juga dalam amalan-amalan ibadah lainnya. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah contoh teladan yang baik untuk kamu. (Al-Ahzab,21)
dan berdasarkan sabda beliau s.a.w. dalam Haji Wada' :
خدوا عني مناسككم
Ambillah dariku manasik (tata cara ibadah Haji dan Umrah) kamu.
Adapun orang yang bertujuan ke Mekah tidak untuk Haji maupun Umrah, seperti halnya seorang yang berniaga, pencari kayu bakar, pengantar surat atau expedisi dan semacamnya, maka ia tidak wajib berihram kecuali jika ia berniat.
Ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w. dalam hadits yang telah tertera di atas saat beliau menyebutkan ketentuan miqat :
هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن أراد الحج والعمرة
Miqat-miqat itu untuk penduduk wilayah itu,juga untuk penduduk daerah lain yang hendak haji dan umrah yang melintasi miqat-miqat itu.
Lawan pengertian dari hadits ini adalah bahwa orang yang melintasi miqat-miqat tersebut, tetapi tidak bertujuan haji maupun umrah, tidak di tuntut untuk berihram. Ini adalah sebagian dari rahmah dan kemudahan dari Allah untuk para hamba-Nya. Hanya bagi Allah puji dan syukur atas itu semua.
Ini juga dikukuhkan oleh apa yang dilakukan Nabi s.a.w. tatkala datang ke Mekah di saat Fathu Mekah (Pembebasan Mekah). Beliau saat itu tidak berihram. Bahkan beliau memasuki kota Mekah dengan mengenakan sorban yang dililitkan pada topi baja di kepala beliau. Karena beliau saat itu tidak bertujuan haji atau umrah, akan tetapi bertujuan menaklukkan kota Mekah dan menghilangkan kemusyrikan dari kota suci itu.
Adapun orang yang tempat tinggalnya belum sampai miqat (di ukur dari Mekah), sebagaimana penduduk jeddah, Ummus Salam, Bahrah, Syara'i, Badar, Masturah dan daerah-daerah seperti itu, tidak perlu seseorang harus pergi menuju salah satu dari kelima miqat tersebut.Akan tetapi tempat tinggalnya itulah miqatnya. Ia cukup berihram untuk haji atau umrah dari tempat tinggalnya itu.
Jika ia mempunyai tempat tinggal lain di luar miqat, maka ia boleh memilih hendak berihram dari miqat atau hendak berihram dari tempat tinggalnya yang lebih dekat ke Mekah dibanding miqat. Ini berdasarkan pengertian umum dan sabda Nabi dalam hadits Ibnu 'Abbas tatkala beliau menjelasakan ketentuan miqat, beliau bersabda:
ومن كان دون ذلك فمهله من أهله
حتى أهل مكة يهلون من مكة (أخرجه البخاري ومسلم)ا
Dan, orang yang bertempat tinggal di kawasan sebelum miqat (di ukur dari Mekah), tempat ihramnya adalah dari keluarganya (rumahnya ).
Hingga Penduduk Mekah pun berihram dari Mekah. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Lain halnya bagi orang yang hendak umrah tetapi berada di tanah haram, maka ia wajib keluar terlebih dahulu ke tanah halal (di luar kawasan tanah haram). Dari sanalah ia berihram untuk umrahnya Hal itu karena Nabi s.a.w., saat di mintai izin Aisyah untuk melakukan umrah, beliau menyuruh Abdur Rahman bin Abu Bakar, saudara lelaki Aisyah, untuk mengantarnya keluar ke tanah halal dari sanalah Aisyah berihram untuk umrahnya. Ini menunjukkan bahwa orang yang hendak umrah tidak dibenarkan berihram umrah dari tanah haram. Akan tetapi ia harus berihram umrah dari tanah halal.
Dengan demikian hadits ini mentakhshish (mengkhususkan) pengertian umum hadits Ibnu 'Abbas di atas dan menunjukkan bahwa yang di maksudkan Nabi s.a.w. dengan sabda beliau:
حتي أهل مكة يهلون من مكة
".....Hingga penduduk Mekah pun berihram dari Mekah "
adalah berihram untuk haji, bukan berihram untuk haji, bukan berihram untuk umrah.
Karena, seandainya berihram umrah dibolehkan dari tanah haram, tentu Nabi s.a.w. mengizinkan Aisyah berihram umrah dari situ tidak perlu menyuruhnya berpayah-payah keluar ke tanah halal. Ini adalah jelas. Dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama'-rahmatullahi'alaihin, dan pendapat inilah yang lebih aman untuk di pegang oleh seorang mu'min, karena di situ terdapat pengalaman dua hadits sekaligus. Wallahu-l-Muwaffiq.
Adapun memperbanyak umrah, setelah haji, dari Tan'im, Ji'ranah atau tempat lainnya, sebagaimna yang dilakukan oleh sebagian orang padahal sudah melakukan umrah sebelum haji, tidak mempunyai satu dalil pun yang menunjukkan disyari'atkannya amalan ini. Bahkan nash-nash dalil yang ada menunjukkan bahwa yang utama adalah meninggalkannya. Karena Nabi s.a.w. dan para sahabat beliau radhiyallahu'anhum- tidak pernah melakukan umrah seusai haji mereka. Sedangkan Aisyah melakukan umrahnya dari Tan'im adalah karena dia belum umrah bersama-sama orang lain saat memasuki Mekah oleh sebab datangnya haidh. Karenanya ia meminta izin kepada Nabi untuk melakukan umrah,sebagai ganti umrahnya yang telah diniatkan sejak dari miqat, dan Nabi s.a.w. mengizinkannya. Dengan demikian ia melakukan umrah dua kali,yaitu umrah yang ia lakukan bersamaan dengan amalan hajinya dan umrah secara tersendiri. Maka, orang yang memiliki kasus seperti kasus Aisyah ini tidak mengapa ia melakukan umrah sesuai hajinya, sebagai pengamalan dalil-dalil yang ada dan memberi keleluasan bagi umat Islam.
Tidak diragukan, bahwa sibuknya jemaah haji melakukan umrah lagi, selain umrah yang telah mereka lakukan saat mereka memasuki kota Mekah, adalah memberatkan orang banyak dan menyebabkan berdesak-desaknya orang, serta sering menyebabkan terjadinya kecelakaan, di samping amalan itu menyalahi tuntunan dan sunnah Nabi s.a.w..
Wallahu-l-Muwaffiq.